Saat aku bertanya-tanya tentang apa yang tersisa dari pandemi Covid 19 beberapa tahun silam. Atau, sesuatu yang orang-orang dekatku sebut hikmah. Hanya tulisan ini yang bisa kutemukan:
Selama beberapa minggu terakhir, kritik terhadap pemerintah terasa seperti diacuhkan. Ada klaim bahwa mereka juga sedang berjuang, bahwa mereka pun merasakan dampaknya. Mungkin benar demikian. Tapi, apakah kita pernah berhenti untuk benar-benar mengukur? Mana yang sebenarnya lebih terdampak?
Cobalah bayangkan ini: mengapa pembatasan lalu lintas orang selalu diabaikan? Apakah karena keras kepala? Mungkin. Tapi mungkin juga, sebagian besar dari mereka hanya mencari jalan keluar dari kekosongan di sekitarnya. Kekosongan yang seharusnya dipenuhi oleh sesuatu yang mendasar, sesuatu yang membuat mereka bertahan. Makanan, misalnya.
Lalu ingatlah saat harga hand sanitizer melambung, dianggap sebagai tameng dari ancaman yang tak kasat mata. Kini banyak yang berkata, “Sabun dan air lebih baik.” Tapi berapa banyak dari kita yang benar-benar memiliki akses mudah ke air bersih, apalagi sabun? Berapa banyak yang bisa mencuci tangan setiap dua puluh menit, ketika keran rumah mereka lebih sering kering?
Dua hal itu—makanan dan air—seperti fondasi dari segala kehidupan. Tanpanya? Tak terbayang dikepalaku yang sempit ini.
Aku tidak sedang mendukung siapa pun untuk mengabaikan aturan, apalagi menyerukan ketidakpedulian. Tapi dua hal itu, setidaknya bagi mereka yang paling terdampak, menjadi bukti nyata bahwa ketakutan untuk memutuskan lockdown bukan tanpa alasan. Ketakutan itu lahir dari kenyataan bahwa di rumah mereka, kebutuhan mendasar sering kali hanya jadi bayangan samar.
Aku teringat masa-masa sekolah. Sering kali aku pergi ke Bandung, melewati Sumedang yang selalu hidup dengan warna-warninya. Di sana, aku melihat pertunjukan topeng monyet. Atraksi demi atraksi, monyet itu menari, berguling, memegang payung kecil. Di akhir setiap gerakan, ia diberi makanan.
Kupikir monyet liar, yang hidup di alam bebas, mungkin tak perlu menari untuk bertahan hidup (bahkan dalam konteks saat ini, di jogja, mereka sanggup merebut ruang manusia). Mereka hanya perlu memanjat pohon atau menjelajahi semak-semak. Makanan mereka ada di sekitarnya, tak jauh dari jangkauan.
Dan itulah ketakutanku. Ketakutan bahwa ketika sumber makanan di sekitarku mulai menghilang, aku harus menari juga—mengangkat payung kecil, memainkan peran yang bukan milikku. Atau jangan-jangan, ini sudah terjadi. Aku hanya belum menyadarinya. Entahlah
Leave a Reply