Setangkup Kisah di Gunung Andong

Oleh: Firda

“Gass,” jawabku ketika diajak mendaki ke Gunung Andong bersama AMG Adventure. Rupanya, pendakian kali ini dibarengi oleh ShaLink guna melakukan konservasi dan brand audit sampah. Gunung menjadi salah satu tempat untuk me-refresh jiwa dan raga setelah berhari-hari melewati kehidupan di kota, penat akan tugas kuliah dan kerja. Sebagai contoh, aku dan teman-teman AMG Adventure melakukan pendakian ketika merasa lelah dan butuh udara segar. Mari, ku ceritakan kisahnya.   

Perjalanan menuju Puncak

Saat itu, pukul 14:30 WIB, langit dihiasi oleh sekumpulan awan mendung, dan matahari ditutupi olehnya. Khawatir akan jatuhnya hujan sebab awan yang berkumpul dari air laut, kami memutuskan untuk mulai pendakian. Terdapat dua jalur dan masing-masing jalur mempunyai perbedaan medan. Jalur selatan, jalur yang konon katanya lebih mudah diakses, aman, dan minim risiko ketika hujan. Jalur selatan ini nantinya akan menembusi jalur Sawit dan lebih cepat menuju puncak. Sedangkan jalur utara sendiri mempunyai medan yang lebih sulit. Jalan ini memiliki medan yang licin, tangga-tangga yang tinggi dan memutar menjauhi puncak. Aku tidak menyarankan untuk pendaki pemula melewati jalur ini. Sebab, sangat berbahaya ketika hujan turun. Oleh sebab inilah aku dan teman-teman memutuskan untuk membagi kelompok menjadi dua. Aku dan beberapa anggota (perempuan) dibarengi oleh satu laki-laki melewati jalur selatan. Sedangkan empat anggota lain melewati jalur utara. Hal ini juga menjadi pertimbangan agar dapat area camp yang sesuai sehingga diharapkan kelompok dua sampai lebih cepat. 

Long story short, kami—aku dan anggota yang lain—memutuskan untuk istirahat sejenak ketika mencapai pos 2. Ada yang salat, menanam pohon, dan ada yang beristirahat sambil charge energi. Setelah beberapa saat, aku merasa udara mulai dingin, suhu bergerak turun, oksigen semakin tipis dan kabut berjalan naik mendekati kami. Bergegas, aku mengajak untuk melanjutkan perjalanan agar tidak kemalaman. Beberapa kali kami mendapat pemandangan yang cantik. Gunung Merbabu yang sangat gagah dan diikuti gunung Merapi di belakangnya. Di pojok barat laut nan jauh di sana, gunung Sumbing dan Sindoro menampakkan dirinya dengan bangga. Dengan dihiasi oleh sedikit cahaya matahari, kedua gunung itu terlihat sangat memesona. Perkebunan, rumah warga terlihat indah. Tentunya, kami tidak ingin menyia-nyiakan momen itu. Kami berebutan untuk saling memotret raga dengan latar belakang yang ada agar terlihat menawan. 

Hari mulai gelap, jarak pandang menipis, binatang malam yang menghuni gunung ini mulai bersuara. Kembali berjalan pelan-pelan pun kami lakukan. Aku terheran, bukankah saat ini weekend? Lantas, mengapa para pendaki tidak berbondong-bondong untuk menghabiskan akhir pekan dengan menikmati alam bebas? Hanya dua hingga tiga pendaki yang aku temui. Padahal, biasanya kami sudah saling berebutan agar mendapat area camp yang enak. Mungkinkah kendala cuaca yang tidak menentu? Kembali pada perjalanan, setelah hampir tiga jam kami melewati jalan setapak yang penuh rintangan, kami sampai di camp area bawah makam. Kelompok satu yang melewati jalur utara belum terlihat wujudnya. Aku mencoba naik ke arah puncak untuk mencari mereka. Barangkali mereka mendirikan tenda di atas, melihat area masih luas dan sepi. Selama lima hingga sepuluh menit kami menunggu, akhirnya kelompok satu terlihat. Setelah itu, kami memutuskan untuk mendirikan tenda di atas agar lebih dekat dengan puncak. Kami memilih area yang dekat dengan pepohonan agar angin tidak terlalu besar. Terdapat empat tenda yang digelar, saling berhadapan, atap yang ditutupi oleh flysheet agar kami dapat berbincang. 

Lagi-lagi aku merasakan momen yang berbeda ketika tenda sudah digelar semua. Biasanya, setelah gelar tenda dan makan, kami memutuskan untuk tidur. Namun, kali ini kami sempat bermain game dan berbincang-bincang untuk membangun chemistry. Rasanya asyik sekali, kami jadi lebih akrab dan mengenal satu sama lain. Bagiku, pendakian ini menjadi pengalaman yang luar biasa karena dapat berpetualang dengan teman-teman baru. Yuk naik lagi, kawan.

Konservasi

   Bergerak pelan-pelan, aku mengajak untuk jalan santai sembari melihat kiri kanan ku lihat saja banyak pohon cemara, eh. Bukan, maksudku adalah melihat kanan kiri guna mencari spot atau area untuk menanam pohon. Bibit pohon yang kami bawa beraneka macam, salah satunya yaitu buah-buahan. Hal ini bertujuan agar dapat menghalau sekawanan monyet yang biasa merusak perkebunan warga saat musim kemarau tiba. Mau diusir, tapi habitatnya. Mau marah tapi sama siapa? Oleh sebab itu, ShaLink memutuskan untuk menanam bibit buah rambutan dengan harapan dapat tumbuh sehingga hasil panen warga sempurna. 

Saat itu, aku merasakan momen yang berbeda. Momen yang belum pernah ku jumpai. Sejatinya, kegiatan mendaki memang merusak alam. Binatang yang menghuni gunung itu pun akan merasa terganggu dan terancam. Jikapun ditutup akan mematikan mata pencaharian warga sekitar. Kupikir mendaki tanpa merusak dan/atau meninggalkan apapun sudah menjaga kelestarian gunung. Akan tetapi, ternyata jalur yang ku lewati merusak alam. Pohon-pohon ditebangi guna membuka jalan agar mencapai puncak. Oleh sebab itu, konservasi mungkin dapat membantu mengembalikan ekosistem tersebut, meskipun tidak sepenuhnya. Secara bergantian, kami menanam pohon di beberapa area. Dengan sedikit ilmu yang kami punya, kami berupaya untuk menanam pohon sebaik mungkin. Dengan harapan bibit yang kami tanam akan tumbuh. Tidak ada tangan-tangan nakal yang merusaknya. Tumbuhan juga merupakan makhluk hidup, untuk itu, aku mencoba untuk berbicara setelah ku tanam. Aku berharap ia tumbuh dengan baik. Aku cukup berbangga diri karena memiliki kesempatan ini. Kesempatan yang tidak banyak orang memilikinya. Rasanya ingin sekali melakukannya lagi dan lagi demi kelangsungan kehidupan bumi ini. 

Brand Audit

Naik gunung membutuhkan bekal yang banyak untuk kebutuhan tubuh sehingga sampai puncak dengan aman. Banyak yang harus dipersiapkan. Dalam hal ini, makanan dan minuman menjadi bawaan utama yang perlu dilebihkan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Contohnya energi yang cukup dan air agar terhindar dari dehidrasi. Masing-masing gunung memiliki kebijakan tertentu mengenai jenis makanan dan minuman yang diperbolehkan untuk dibawa. Namun, pada umumnya, air mineral dan makanan instan cepat saji menjadi salah satu cara agar tidak ribet. Hal ini menjadi sebab adanya beberapa sampah yang tertinggal dan tersebar di gunung yang dapat merusak ekosistem. Para pendaki yang tidak bertanggung jawab tak acuh terdapat keberlangsungan makhluk hidup di sekitar. Contoh merk sampah yang sering dihasilkan saat mendaki gunung yaitu:

  1. Le minerale
  2. VIT
  3. Indomie
  4. Mie sedaap
  5. Mintz

Jenis sampah sendiri terbagi menjadi dua, yaitu sampah organic dan non organic. Sampah organik dapat terurai dan tidak menganggu ekosistem. Sedangkan sampah non organic susah terurai. Sampah-sampah tersebut di atas tergolong susah terurai sebab membutuhkan waktu sekitar sepuluh hingga lima ratus tahun (a2p-DLHK, 2023). Apabila tidak segera diatasi, sampah dapat menumpuk di gunung dan ekosistem tercemar. Artinya, tumbuhan akan mati, rantai makanan tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga bumi rusak. 

Menilik masalah tersebut, pendaki dapat mengatasinya dengan mengganti bawaan yang menggunakan kemasan sekali pakai dengan wadah yang dapat digunakan berulang. Sebagai contoh, air mineral diganti menggunakan tumbler atau botol minum yang lain. Makanan di masukkan dalam alat makan yang dapat digunakan secara berulang. Sehingga, sampah yang dihasilkan pun tidak banyak. Selain itu, para pendaki pun tidak perlu repot memilah sampah untuk dibawa turun. 

Berbincang mengenai sampah, menurutku, perlu adanya edukasi dari pemerintah dan masyarakat yang sadar akan keberlangsungan hidup makhluk hidup. Permasalahan sampah memang sering dianggap sepele, padahal dampak yang dihasilkan sangat besar. Seharusnya, pemerintah dan pengelola menindak tegas pelaku sampah yang menghasilkannya. Hmm, tapi, daripada mengandalkan pemerintah yang agaknya sulit ini mending kita mulai dari diri sendiri. Kecil atau besar, setidaknya sudah membantu demi keberlangsungan hidup kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *