Acuh, amoral, sinis? Apa kesan pertamamu saat bertemu Meursault dalam The Stranger? Aku sendiri merasa limbung. Di satu sisi, aku heran: bagaimana mungkin ada seseorang yang tampak begitu dingin, bahkan terhadap kematian ibunya sendiri? Namun, di sisi lain, aku heran pada diriku sendiri. Kenapa aku berpikir demikian? Sebab, kematian itu—memangnya harus ditanggapi bagaimana? Haruskah meratap seperti Thomas Perez?
Ketika Meursault berkata:
“Namun, itu pasti akan dilakukannya dua hari lagi, bila dia melihatku berpakaian dan memakai tanda duka cita. Saat ini rasanya hampir seperti ibu belum meninggal. Sebaliknya, setelah pemakaman, hal itu akan merupakan persoalan yang selesai, dan semua akan kelihatan lebih resmi.”
Aku merenung. Sebentar. Lalu berpikir: memang apa bedanya peristiwa kematian dengan peristiwa makan siang? Bukankah yang membedakan hanya seremoni—pakaian hitam, karangan bunga, hingga berbagai prosesi yang panjang? Makan siang pun bisa terasa istimewa jika diberi seremoni.
Bukan hanya sikap Meursault terhadap kematian ibunya yang membuatku bertanya-tanya, “Apa orang lain saat bertemu Meursault dalam The Stranger?” Ada banyak hal lain yang membuatku merasa limbung.
Aku tidak tahu bagaimana reaksi orang-orang di kampungku jika mendengar Meursault menitipkan ibunya ke panti jompo. Mungkin bagi mereka, itu pantangan. “Orang tua sudah merawat kita dari kecil, maka sudah sewajarnya anak-anak merawat orang tua di masa tua,” mungkin begitu kata mereka kepada Meursault.
Aku juga bertanya-tanya, apa tanggapan mereka ketika Meursault berkata:
“Dan juga karena kunjungan ke situ menyebabkan aku kehilangan hari Mingguku—tanpa menghitung usaha untuk naik bis, membeli karcis, dan melakukan perjalanan selama dua jam.”
“Realistis” mungkin bukan kata yang sepenuhnya tepat. Tapi aku tidak menemukan kata lain. Ketika penjaga pintu berkata:
“Di Paris kita dapat menahan jenazah sampai tiga-empat hari, kadang-kadang. Di sini tidak ada waktu, belum sempat kita menyiapkan diri, sudah tiba waktunya untuk berlari-lari di belakang peti mati,”
istrinya memotong, menganggap pembicaraan itu tidak seharusnya disampaikan kepada Meursault. Padahal, Meursault justru menganggap percakapan itu menarik. Sikap ini, menurutku, bukan hal yang tabu. Sebab, biar bagaimanapun, orang yang mati itu, maaf, hanya seonggok bangkai. Yang si mati dengan bangkai tikus dijalanan, menurutku dibangun melalui pengetahuan kita (yang masih hidup) dalam mengurus mayit, termasuk cara menguburkannya. Semasa kecil dulu, aku ingat jika orang dikampungku sangat memperhatikan musim, kondisi tanah, hingga keberadaan hewan liar seperti anjing, untuk membuat liang. Itulah yang kuanggap realistis.
Setidaknya bagiku, Meursault hanya peduli pada hal-hal yang dihadapinya. Tidak pada hal-hal yang abstrak dan dalam beberapa hal aku sepakat. Setelah kuingat-ingat, hari ketika ayahku meninggal, aku juga sibuk mengurus presensi di kampus. Saat itu, aku muak pada mereka yang datang menyampaikan belasungkawa tanpa peduli pada hal-hal yang lebih mendesak—seperti membantuku mengurus presensi.
Aku muak karena, orang-orang itu seolah-olah hanya pada formalitas. Hal-hal yang membuat mereka terlihat seperti makhluk yang penuh simpati. Dan sepertinya aku harus berterimakasih pada orang-orang yang lebih banyak membantu persoalan administrasiku saat itu, daripada mengucapkan banyak bertanya soal perasaanku.
Namun, ya, mungkin karena aku berpikir beberapa orang—terutama yang kukenal—akan menganggap perilaku seperti itu amoral, aku merasa butuh pembenaran dari orang lain. Mungkin karena itu, aku terus bertanya-tanya, apa yang orang pikirkan tentang Meursault.
Ketika Meursault membunuh pria Arab di pantai, bagiku, pembunuhan itu lebih impulsif daripada disengaja. Ia mengaku terganggu oleh silau matahari, dan tindakan menembak itu lebih seperti reflek daripada niat membunuh. Anehnya, pengadilan tidak terlalu peduli pada penyebabnya, tetapi lebih pada siapa Meursault sebagai individu.
Selama persidangan, fokusnya bergeser. Ketidakpedulian Meursault terhadap norma sosial—termasuk cara ia menghadapi kematian ibunya—dijadikan dasar untuk menghakiminya sebagai orang yang tidak bermoral. Para saksi membicarakan perilakunya di pemakaman, bukan insiden di pantai. Aku merasa seolah pengadilan lebih menghukumnya karena tidak sesuai dengan harapan masyarakat daripada karena kejahatannya.
Ironis, bukan? Dalam benak Meursault, segala sesuatunya sederhana. Namun, bagi masyarakat, tidak. Orang-orang ingin memaksakan makna pada setiap tindakan, sementara Meursault justru menolaknya.
Namun, di balik absurditas itu, ada celah yang membuatku bertanya-tanya: apakah Meursault lari dari tanggung jawabnya? Setelah membunuh pria Arab, ia tampak lebih terfokus pada bagaimana orang menilainya dibandingkan menerima konsekuensi dari kebetulan yang membuatnya menjadi pembunuh. Padahal, absurdisme juga (setidaknya bagiku) menekankan soal tanggung jawab, atau setidaknya penerimaan terhadap ketidakpastian dunia.
Ada hal lain yang juga menarik. Bagiku, beberapa pernyataan Meursault menunjukkan sinisme. Pada saat orang-orang percaya pada hal-hal abstrak seperti simpati dengan ucapan belasungkawa, kebaikan, atau kejahatan, Meursault melihat semua itu seringkali hanya menjadi formalitas. Sinismenya, meski terasa tajam, mengungkapkan kebenaran pahit bahwa banyak tindakan sosial dilakukan bukan karena ketulusan, tetapi karena tekanan untuk mematuhi norma.
Dalam The Myth of Sisyphus, Albert Camus menulis tentang perjuangan manusia melawan absurditas kehidupan. Sisyphus yang terus mendorong batu ke puncak bukit, meski tahu batu itu akan kembali jatuh, menggambarkan tanggung jawab dan penerima ketidakpastian. Tapi aku merasa, Meursault tidak sepenuhnya mencapai itu. Ia lebih sibuk dengan persepsi orang lain, seolah menjadikan penilaian mereka sebagai fokus yang tak seharusnya ada dalam absurdisme.
Ia tahu, hidup tidak memiliki makna inheren. Namun, ia tidak berusaha menciptakan makna palsu untuk menghibur dirinya. Seperti yang ditulis Camus, “Kita harus membayangkan Sisyphus bahagia.” Tapi apakah Meursault bahagia? Atau justru terlalu sibuk memikirkan pandangan dunia hingga melupakan ketidakpastian yang ia hadapi?
Dalam beberapa hal, aku sepakat dengan Meursault. Tapi aku terlalu takut untuk mengatakannya. Mungkin karena aku masih terikat dengan penilaian orang lain.
Leave a Reply