Ruang Terbuka Hijau (RTH), yang pertama kali terbayang oleh teman-teman mungkin area terbuka yang penuh pepohonan, rerumputan, aneka tumbuhan, atau mungkin seperti Central Park di NYC, US. Dan ya, benar, RTH dalam konteks pembahasan kali ini memang tidak jauh dari apa yang teman-teman bayangkan. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area yang tidak terbangun dan ditanami tumbuhan, seperti taman, hutan kota, atau lahan pertanian, yang berperan memberikan manfaat ekologis, sosial, dan keindahan bagi masyarakat. Sudah terbayang bukan? RTH sendiri terbagi menjadi dua jenis: RTH publik yang disediakan pemerintah daerah untuk masyarakat, contohnya taman, hutan kota, dan pepohonan di jalur jalan; lalu, RTH privat yang dimiliki institusi atau individu, seperti kebun halaman rumah/gedung. Kita semua tahu betapa pentingnya RTH untuk kualitas hidup kita, tapi sayangnya, Kota Yogyakarta masih jauh dari target ideal. How could it happen?
Mungkin banyak dari kita belum benar-benar paham pentingnya RTH. Jadi, yuk kita lihat dulu fungsi RTH. RTH berfungsi menyaring polusi; tanaman di taman-taman ini berperan penting dalam membersihkan udara yang kita hirup. Setiap kali kita berjalan di taman, kita sebenarnya sedang menghirup ‘napas segar’ berkat tanaman-tanaman itu. Sayangnya, nggak semua RTH dikelola dengan baik. Banyak taman terbengkalai, penuh sampah, dan malah jadi sumber polusi. Makanya, kita harus lebih peduli dan aktif menjaga kebersihan RTH biar fungsinya optimal.
Selanjutnya, kita ngomongin soal risiko banjir. RTH sebenarnya bisa menyerap air hujan dan ngurangin genangan. Tapi di banyak kota, termasuk Yogyakarta, pembangunan yang nggak terencana malah mengurangi jumlah RTH. Bukannya mengurangi risiko banjir, malah muncul masalah baru. Kita harus tanya, emang pembangunan infrastruktur lebih penting daripada menjaga ruang terbuka yang bisa cegah bencana? Jangan lupa juga soal iklim mikro! RTH bikin suasana lebih sejuk, apalagi pas cuaca lagi panas. Tapi, makin banyak pohon ditebang buat pembangunan, kita kehilangan tempat sejuk yang harusnya bisa dinikmati. What a shame… makanya kita semua kepanasan pas siang lagi terik-teriknya.
Sesuai dengan yang tercantum dalam UU Nomor 26 Tahun 2007, seharusnya RTH di Kota Yogyakarta mencapai minimal 30% dari total luas kota, di mana 20% merupakan RTH publik dan 10% RTH privat. Namun, kenyataannya, kita masih jauh dari angka itu. Banyak dari kita mungkin tidak menyadari betapa pentingnya RTH ini. Mereka bukan hanya sekadar “Ah, taman buat santai santai doang”, tetapi juga berfungsi sebagai paru-paru kota yang menyaring udara dan menyerap air hujan. Tanpa RTH yang cukup, kita berisiko menghadapi masalah lingkungan yang lebih besar, seperti polusi dan banjir.
Selain itu, ada juga masalah anggaran. Pemerintah sering kali lebih fokus pada pembangunan infrastruktur lain yang dianggap lebih mendesak. Akibatnya, RTH sering kali terabaikan. Kita perlu mendorong pemerintah untuk lebih memperhatikan RTH dan mengalokasikan anggaran yang cukup untuk pengadaan dan pemeliharaannya. Ingat, investasi di RTH adalah investasi untuk masa depan kita! Paham?!
Dan jangan lupakan regulasi yang kadang bikin pusing tujuh keliling. Proses pengajuan pengadaan RTH oleh masyarakat bisa sangat panjang dan rumit. Hal ini mungkin saja membuat masyarakat jadi malas untuk mengajukan ide-ide mereka. Kita perlu mencari cara untuk menyederhanakan proses ini agar lebih banyak orang bisa berkontribusi dalam pengembangan RTH.
Jadi, mari kita lebih kritis dan peduli terhadap kondisi Ruang Terbuka Hijau di Yogyakarta. Dengan meningkatkan kesadaran, mendukung kebijakan yang pro-RTH, dan aktif berpartisipasi, kita bisa membantu kota kita mencapai target yang seharusnya. Yuk, kita jaga dan cintai RTH agar Yogyakarta tetap menjadi kota yang nyaman dan hijau untuk kita semua!
Leave a Reply