Mengenal Ekosida dan Apa Pentingnya untuk Kita Ketahui?
Ekosida menurut pengertiannya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) termasuk dalam kelas kata nomina dalam rumpun ekologi yang berarti “upaya terencana untuk memusnahkan ekosistem atau bagian dari ekosistem”. Ekosida adalah istilah yang dipopulerkan secara khusus untuk memberi penekanan bahwa aktivitas perusakan lingkungan adalah sebuah kejahatan. Sebelumnya kita mungkin sudah akrab dengan kata “Genosida”, perpaduan dari dua kata dalam bahasa Yunani dan latin (genos = ras, dan cide = pemusnahan), yang jika digabungkan memiliki arti pemusnahan ras. Maka, jika mengikuti pembentukan kata genosida, kata ekosida memiliki arti pemusnahan terhadap lingkungan/sumber daya alam.
Selama ini, ada empat kejahatan yang tergolong dalam kejahatan luar biasa dalam konteks internasional, yaitu kejahatan kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan agresi. Keempat kejahatan itu ditangani oleh International Criminal Court (ICC)/Mahkamah Pidana Internasional dan ditetapkan dalam suatu perjanjian yang disebut sebagai Statuta Roma. Sebelum tahun 2011, ekosida belum menjadi pembahasan dalam panel ICC sebagai salah satu bentuk kejahatan luar biasa. Sampai pada saat itu, kerusakan lingkungan belum dipandang sebagai suatu kejahatan. Kemudian, pada 2011, Polly Higgins, seorang pengacara asal Inggris, menginisiasi agar dilakukan amandemen terhadap Statuta Roma agar ekosida turut dimasukkan ke dalam ketetapan tersebut, sehingga ekosida menjadi kejahatan yang dapat dibawa dan dituntut di ICC. Akan tetapi, upaya tersebut belum juga berhasil hingga Higgins meninggal pada 2019.
Persoalan ekosida kemudian kembali digaungkan oleh duta besar dari negara Vanuatu dan Maladewa pada Desember 2019 dalam sesi ke-18 Assembly of States Parties to the Rome Statue of ICC. Perwakilan dari negara Vanuatu dan Maladewa meminta agar panel ICC mempertimbangkan dengan serius agar ekosida ditambahkan ke dalam Statuta Roma dan menjadikan ekosida sebagai kejahatan kelima bersama dengan empat kejahatan berat lainnya. Alasannya jelas, kedua negara tersebut adalah negara kepulauan dan sangat rentan terhadap dampak dari krisis ekologis yang sedang terjadi saat ini, kenaikan muka air laut. Maka, dengan menambahkan ekosida sebagai kejahatan kelima harapannya upaya menghentikan kerusakan lingkungan yang mengakibatkan perubahan iklim dapat dengan total dilakukan.
Sampai saat ini, hanya ada satu ketentuan yang terkait dengan kejahatan lingkungan dalam Statuta Roma. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 8 (2) (b) (iv). Dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa kejahatan kemanusiaan adalah tindakan yang secara sengaja melakukan serangan sampai mengakibatkan hilangnya nyawa, kerusakan properti sipil atau kerusakan lingkungan hidup. Jika mengacu pada ketentuan ini, ICC sudah dapat melakukan tuntutan terhadap pelaku perusakan lingkungan. Akan tetapi, hanya berlaku dalam konteks perang. ICC tidak dapat melakukan tuntutan kepada perusak lingkungan apabila dilakukan dalam sebuah kawasan/negara yang sedang damai/perusakan yang dilakukan bukan karena perang.
Di Indonesia, upaya untuk mengenalkan dan kemudian mempopulerkan ekosida telah berlangsung sejak 2015 dengan diterbitkannya buku oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) berjudul Ecocide, Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Seri kedua buku ini terbit pada 2019 dengan judul Ecocide: Memutus Impunitas Korporasi. Buku lain yang membahas ekosida kembali terbit pada 2020, ditulis oleh Ridha Saleh, berjudul Ecoside: Melawan Pelanggaran Berat HAM di Indonesia.
Lantas pertanyaannya adalah kenapa ekosida menjadi penting, baik dalam konteks global maupun dalam konteks Indonesia? Apabila kita sepakat bahwa ekosida yang bermakna perusakan lingkungan adalah sebuah kejahatan, kita sepakat untuk meletakkan aktivitas perusakan lingkungan di bawah garis moral, sama seperti kejahatan lainnya seperti misalnya pembunuhan. Kita tentu bisa saja meminta izin kepada negara untuk melakukan aktivitas ekstraktif seperti pertambangan dan pembalakan hutan. Akan tetapi, kita tentu tidak bisa meminta izin kepada negara untuk melakukan pembunuhan kepada orang lain, untuk alasan apapun. Menyepakati ekosida artinya kita sepakat pula bahwa aktivitas yang ekstraktif dalam skala yang masif adalah kejahatan karena dapat membawa manusia dan lingkungannya ke arah yang menyengsarakan, yaitu perubahan iklim.
Perubahan Iklim dan Seberapa Dekat Kita dengan Dampaknya?
Perubahan iklim adalah persoalan global yang perlu diselesaikan bersama-sama. Hanya saja, persoalan global tersebut mungkin terlalu “besar” untuk dapat dilihat dan dipahami seutuhnya. Sebagai individu, kita terkadang kesulitan untuk memahaminya karena terbatasnya kemampuan kita untuk memandang masalah perubahan iklim secara utuh.
Biasanya, kita akan lebih akrab dengan masalah-masalah kerusakan lingkungan yang lebih lokal, terasa nyata dan langsung , serta dekat dengan kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, kita yang hidup di perkotaan mungkin tidak akan terlalu menyadari perubahan pola musim. Masyarakat kota mungkin lebih resah dengan sampah-sampahnya yang sudah tidak tahu ingin dibuang kemana. Resah dengan banjir yang kian hari kian sering dan kian tinggi dari biasanya. Sebaliknya, masyarakat yang tinggal di daerah pesisir dan menggantungkan hidupnya dari menangkap ikan mungkin akan lebih mudah merasakan anomali cuaca, ombak besar, ikan yang semakin jauh dari pantai, dan sebagainya. Atau seorang petani yang menanam tanaman musiman, mungkin akhir-akhir ini akan merasa musim hujan dan kemarau yang umumnya berganti setiap kurang lebih 6 bulan sekali kini menjadi tidak menentu. Terkadang kemarau menjadi lebih panjang, sehingga lahan-lahan menjadi kering atau sebaliknya. Dampaknya bisa bermacam-macam, mulai dari jadwal tanam yang terganggu, hasil panen yang tidak optimal atau bahkan yang lebih buruk gagal panen. Setiap orang mungkin hanya menangkap beberapa potongan puzzle dampak dari proses rusaknya lingkungan. Potongan puzzle yang apabila dikumpulkan menjadi satu wajah besar dapat dilihat secara utuh sebagai dampak dari perubahan iklim.
Sadar atau tidak, proses itu sedang berlangsung dan agaknya belum terlihat akan melambat. Sialnya adalah kerusakan lingkungan bukanlah masalah yang dapat selesai cukup dengan kesadaran tiap-tiap individu masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi penggunaan sampah plastik, dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Sampai pada titik tertentu semua itu tentu saja membantu, tetapi belum cukup. Lagipula, campaign-campaign yang seperti itu tampaknya lebih banyak relevan dan lebih cocok ditujukan untuk masyarakat perkotaan, yang menjadi pusat berkumpulnya manusia dan menciptakan banyak sampah dan emisi. Sementara itu, proses perusakan lingkungan sebenarnya malah lebih banyak terjadi di luar batas-batas kota. Perusakan ini biasanya terjadi akibat aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang ekstraktif, seperti pertambangan mineral, pertambangan migas, deforestasi, alih fungsi hutan menjadi perkebunan monokultur, dan lain sebagainya.
Kerusakan lingkungan mungkin sulit untuk dirasakan dari tengah kota yang padat, tetapi terkadang dampaknya dapat kita rasakan melalui bencana yang timbul karenanya. Sebut saja banjir, buruknya kualitas udara, kekeringan, dan kabut asap. Bencana-bencana tersebut dapat terjadi salah satunya disebabkan oleh perbuatan manusia (man made disaster). Salah satu yang familiar, terutama bagi saya, adalah kabut asap. Apabila ada asap berarti ada api. Kabut asap adalah bencana turunan yang disebabkan oleh bencana lainnya, yaitu kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Masih jelas dalam ingatan saya, bencana kabut asap yang terjadi pada 2015 yang disebabkan oleh terbakarnya hutan-hutan dan lahan-lahan di Sumatera dan Kalimantan. Kabut asapnya ketika itu bahkan sampai di Jakarta. Dalam sepekan, berita pagi seringkali menyiarkan kabut yang menutupi gedung-gedung pencakar langit di kawasan SCBD. Sayangnya kabut tersebut adalah kabut asap yang mencekat, bukan kabut yang membawa embun pagi yang menyegarkan. Sekitar 4 (empat) tahun setelahnya, pada 2019, karhutla kembali terjadi melanda berbagai daerah di Sumatera dan Kalimantan. Pada 17 September 2019, Harian Kompas menerbitkan artikel dengan tajuk “Pemerintah Lalai Cegah Karhutla”. Sebuah statement yang memperlihatkan gagalnya negara dalam melakukan pencegahan karhutla.
Karhutla sendiri bukannya baru-baru itu saja terjadi, dan juga tidak hanya terjadi pada dua tahun itu. Jauh sebelumnya dan di antara dua tahun tersebut, kebakaran hutan dan lahan seringkali terjadi, hampir setiap tahun. Dalam memori kolektif masyarakat Indonesia, setidaknya kebakaran hutan dan lahan pernah menjadi bencana yang hebat pada tahun 1997, 2015, dan 2019. Pada 1997, negara untuk pertama kalinya, melalui keppres, menyatakan kebakaran hutan dan lahan sebagai bencana nasional. Walaupun bencana karhutla pada 1997 terjadi dengan begitu masifnya, tampaknya tidak ada penanggulangan yang begitu berarti. Hutan-hutan yang telah terbakar berubah menjadi lahan-lahan perkebunan kelapa sawit atau kawasan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI). Hutan dan lahan semakin terdegradasi, sehingga menjadi semakin rentan untuk terbakar.
Yah, mari akhiri tulisan ini dalam paragraf ini, sebelum tulisan ini jadi terlalu panjang dan membosankan. Akhirnya, segala daya upaya yang kita lakukan sehari-hari untuk membuat lingkungan menjadi lebih baik melalui gaya hidup yang ramah lingkungan akan terasa percuma bila tidak dibarengi dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang berpihak pada lingkungan. Biar begitu, tidak ada salahnya juga untuk tetap mempertahankan kebiasaan baik itu.
Tulisan ini pada akhirnya hanya ingin berharap agar kita dapat sama-sama merenungkan bahwa kita sangat dekat dengan dampak dari perubahan iklim. Kita yang hidup di tengah kota jangan sampai merasa aman dan kemudian tak acuh. Bayangkan saja kita seperti dadu yang disusun sangat panjang dan kita ada di barisan terakhir. Saat ini mungkin tampaknya yang jatuh baru dadu pertama dan kedua. Kita hanya menunggu giliran sebelum akhirnya ikut tersenggol dan jatuh paling keras.
Leave a Reply